Antara Cinta & Kebencian
Mawar merekah dalam bisikan fajar,
aku menyapa pagi, menyerap embun,
sementara angin membelai lembut,
dan burung-burung menari dalam kidung riang.
Mentari menyambutku dengan kehangatan,
"Bagaimana tidurmu semalam?" tanyaku.
Ia tersenyum ramah, membalas lembut,
"Hari ini indah, karena senyummu."
Aku berjalan melintasi lembah hijau,
burung bercengkerama dalam kasih tak terucap,
gemericik sungai melantunkan nyanyian,
dan dalam riak air, kulihat pantulan bayangan.
Ia tersenyum padaku—
siapakah engkau? bisikku.
Ia tertawa pelan, suaranya sehalus desir angin,
"Aku adalah bidadarimu."
Aku duduk di bawah populir yang teduh,
ditemani hamparan rumput yang berbisik,
bukit-bukit melingkupiku dengan damai,
dan di kejauhan, danau menghampar tenang.
Seekor kumbang menari di atas teratai,
nyanyiannya bergema dalam kehampaan jiwaku,
sementara ia, sang bidadari, tersenyum—
senyuman yang merobek hatiku yang rapuh.
Gemericik sungai berusaha memecah sunyi,
tapi aku tetap terpaku,
seperti patung yang kehilangan nafas.
"Cinta," panggilnya.
"Mengapa kau diam membisu?
Apakah kau tak suka berada di sisiku?"
Wahai kekasih, justru aku terpana
akan cahaya surgawi yang kau pancarkan.
Tetaplah tersenyum, cintaku,
karena aku ada di sini,
untuk belahan jiwaku yang lama hilang.
---
Antara Cinta & Kebencian (Lanjutan)
Tetaplah tersenyum, wahai jiwaku,
mari kita rengkuh kebahagiaan
dalam alunan kidung angin yang berhembus,
meski tanpa suara, meski dalam diam.
Menuju cinta yang abadi,
cinta yang tak tergoyahkan waktu.
"Maukah kau ikut denganku?" bisiknya,
"Kan kubawa kau terbang bersama seribu sayapku,
menyaksikan kedamaian cinta yang kekal."
Aku termangu, lalu bertanya,
"Apakah cinta itu, wahai kekasih?"
"Cinta," ia berkata lembut,
"adalah keindahan yang lahir dari pengorbanan,
tak bisa kau kejar bersama angin,
tak bisa kau beli dengan dunia seisinya,
tak bisa kau tukar dengan seribu nyawa sekalipun."
"Begitu berhargakah cinta?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Cinta adalah cahaya."
"Ajari aku untuk mencinta," bisikku.
Ia tersenyum. "Cinta tak diajarkan," katanya,
"ia datang ketika kesucianmu memanggilnya."
"Lalu apa itu kedamaian?" tanyaku.
"Kedamaian," ucapnya pelan,
"adalah ketika kau menemukan cinta di hatimu,
saat kau membaginya dengan jiwa-jiwa lain,
dan saat kebahagiaanmu tak lagi hanya milikmu sendiri."**
Ia menatapku dengan mata secerah pagi.
"Maukah kau kubawa ke negeri cinta yang abadi?"
Aku mengangguk.
Kami berjalan melintasi padang bunga,
tangannya menggenggam tanganku dengan kelembutan,
menuntunku pada cahaya yang merasuk jiwaku,
hingga kebahagiaan melingkupiku,
mengalir hangat dalam darahku.
"Lihatlah, cinta..." bisiknya,
"tak ada air mata penderitaan di sini.
Tak ada keserakahan, tak ada kebencian,
hanya kasih yang mengalir seperti sungai abadi."
Aku menatapnya. "Adakah dunia yang penuh kebencian?"
Ia mengangguk. "Ya."
"Adakah dunia yang penuh keserakahan?"
"Ya."
"Adakah dunia yang penuh penderitaan?"
Untuk ketiga kalinya ia menjawab, "Ya."
Aku terdiam. "Di manakah dunia itu?"
Ia menatap ke kejauhan,
ke arah tempat di mana bayang-bayang kelam menari.
"Di mana orang-orang diperbudak nafsu,
di mana ketamakan membakar hati,
di mana iri hati merampas kebahagiaan orang lain.
Mereka adalah jiwa-jiwa yang merugi."
Aku menatapnya, ragu.
"Bolehkah aku pergi ke sana?"
Ia menggeleng,
"Tidak, wahai belahan jiwaku...
Mereka yang di sini membutuhkanku,
dan aku membutuhkan mereka,
meski aku juga membutuhkanmu."
Aku menggenggam tangannya lebih erat.
"Jangan tinggalkan aku, cinta...
jangan biarkan kebencian merasuki jiwamu."
Ia tersenyum, begitu tenang.
"Tidak, kekasihku...
Selama ada cinta dalam hatiku,
akan kutebarkan ia kepada jiwa-jiwa yang haus,
akan kuwarnai dunia dengan pelangi harapan."
Angin berhembus pelan,
membelai rambut hitamnya yang berkilau,
membawa serta butiran air matanya
ke dalam nyanyian semesta.
Aku menatapnya dengan getir.
"Jangan bersedih, cintaku...
meski kita berjauhan,
kau akan selalu menjadi bagian dari jiwaku."
Ia tersenyum. "Jagalah keindahan ini," bisiknya.
"Aku akan menunggumu, walau seribu tahun lagi."
Dan aku berjalan pergi,
meninggalkan keindahan yang telah tertanam di jiwaku,
meski langkahku berat, seberat gunung yang menahan jalanku,
meski kehilangan mencengkeram hatiku.
Aku berjalan...
hingga kebencian tak lagi berakar di dunia ini.
Aku berjalan...
hingga hanya cinta yang tersisa,
menghiasi negeri yang mengenal damai
---
Antara Cinta & Kebencian (Lanjutan)
Aku berjalan tanpa tahu ke mana,
entah berapa lama langkah ini menapaki bumi,
hingga di kejauhan kulihat bayangan yang bergoyang,
segerombolan serigala lapar mengendap dalam gelap,
mata mereka menyala seperti bara,
siap menerkam mangsa yang tak berdaya.
Di hadapan mereka, seorang ibu,
mendekap anaknya yang menggigil ketakutan.
Air matanya jatuh, tapi tak ada belas kasihan,
hanya taring yang mengintai,
hanya cakar yang siap mengoyak.
Seperti badai yang meledak tanpa isyarat,
serigala melompat, mencabik, merobek,
jerit melengking menghantam udara,
hingga hening,
hingga daging tak lagi mengenal pemiliknya.
Aku berdiri kaku,
hanya menyaksikan kepergian nyawa,
tanpa doa, tanpa belas kasih.
Aku menatap serigala-serigala itu,
"Wahai serigala, mengapa kau lakukan ini?"
Salah satu dari mereka menatapku,
matanya sedingin tebing batu.
"Sebab aku lapar," katanya.
"Pergilah sebelum kau menjadi santapan berikutnya."
Aku kembali berjalan,
meninggalkan bau kematian yang masih melekat,
membawa luka yang tak terlihat,
tapi terasa dalam setiap denyut nadiku.
Di depan sana, aku melihat api berkobar.
Darah membasahi tanah,
peperangan mencabik batas-batas kemanusiaan.
Orang-orang berteriak dalam kesakitan,
jerit tangis ibu dan anak-anak membelah langit,
sementara mereka yang bersenjata tertawa,
karena menang adalah segalanya.
Rumah-rumah runtuh menjadi abu,
tanah yang dulu hijau kini merah pekat.
Peluru menembus dada tanpa tanya,
pedang menebas nyawa tanpa ragu.
Aku menghampiri seorang lelaki bersimbah darah,
tangannya menggenggam pedang yang berlumuran kematian.
"Wahai manusia, mengapa kau membunuh saudaramu?"
Ia tersenyum getir,
"Kami ingin kedamaian bagi diri kami," jawabnya.
"Kami ingin kemakmuran bagi rakyat kami."
"Kami ingin kesejahteraan bagi jiwa-jiwa kami."
Angin berbisik lirih di telingaku,
membawa suara yang tak terdengar oleh mereka,
bisikan yang berkata: bohong...
Aku menatapnya tajam.
"Kedamaian apa yang kau inginkan?"
Ia menatap api yang membakar tanah kelahirannya.
"Kami tak ingin mereka menghancurkan kami,
maka kami hancurkan mereka lebih dulu.
Kami tak akan merasa damai sebelum mereka lenyap."
Aku menghela napas.
"Kemakmuran apa yang kau inginkan?"
Matanya menyipit penuh hasrat.
"Kami iri melihat mereka lebih makmur dari kami,
maka kami ambil kemakmuran mereka untuk kami sendiri."
Aku menggigit bibir.
"Dan kesejahteraan apa yang kau dambakan?"
Ia tertawa pelan.
"Kebutuhan rakyatku tidak mencukupi,
maka kami rampas kesejahteraan dari yang lain."
Aku menatap tanah yang kini berlumuran darah.
"Apa kau tak peduli pada nyawa yang kau renggut?"
"Tidak," katanya tanpa ragu.
"Aku hanya peduli pada rakyatku dan diriku sendiri."
Aku tak ingin mendengar lagi.
Aku berbalik, meninggalkan mereka
yang buta akan arti kedamaian.
Namun di setiap langkah,
hatiku berbisik getir:
tidak, aku tidak boleh membenci...
aku harus membawa cinta,
cinta bagi mereka yang masih memiliki harapan.
Aku berjalan lebih jauh,
dan di kejauhan, kulihat cahaya lain:
persidangan.
Tapi keadilan di sana tampak buram,
seperti kaca yang dilumuri dosa.
Di hadapanku, seorang wanita menangis,
tertunduk dalam luka yang tak terlihat,
tapi lebih dalam dari luka fisik.
Ia telah dihancurkan,
bukan oleh pedang,
bukan oleh peluru,
melainkan oleh manusia yang harusnya melindunginya.
Di sisi lain, seorang lelaki tersenyum puas,
mengenakan jubah yang gemerlap dalam kesombongan.
Ia berjalan penuh percaya diri,
karena keadilan telah membungkuk kepadanya.
Aku menatap hakim yang duduk di singgasananya,
dan bertanya, "Wahai penegak keadilan, apa itu kebenaran?"
Ia tersenyum tipis.
"Kebenaran adalah kata-kata yang keluar dari mulutku," katanya.
"Kebenaran adalah kekuasaan yang kugenggam.
Kebenaran adalah mereka yang mampu membeli keadilanku."
Aku bertanya lagi,
"Mengapa kau menghukum wanita yang telah diperkosa harga dirinya?"
Ia mengangkat bahu.
"Karena dia tak memiliki sesuatu untuk ditawarkan."
"Lalu mengapa kau bebaskan lelaki yang menghancurkannya?"
Ia tersenyum lebih lebar.
"Karena ia memberi lebih dari yang kuminta."
Hatiku tenggelam dalam hening.
Aku tak lagi merasakan angin yang berhembus.
Dunia terasa asing bagiku.
Aku menatap langit,
mencari jawaban yang tak kunjung datang.
Wahai langit,
mengapa engkau muram?
Apakah kau juga meratap dalam bisu?
Wahai langit,
dosa apa yang telah mereka perbuat,
hingga mereka mencampakkan kesucian
dan merangkul kehancuran?
Wahai langit,
tunjukkan kemahaperkasaan-Mu,
tunjukkan kebijaksanaan-Mu,
tebarkan kedamaian-Mu
pada jiwa-jiwa yang tersesat.
Aku menutup mata,
dan dalam keheningan yang begitu pekat,
aku tahu,
aku harus berbuat sesuatu.
Aku tak bisa mengubah dunia seorang diri,
tapi aku bisa menyalakan cahaya kecil,
yang mungkin, suatu hari nanti,
akan menjadi nyala yang cukup terang
untuk menghapus kelam.
Aku kembali berjalan,
mencari mereka yang masih memiliki harapan,
mereka yang masih bisa mengenal cinta,
mereka yang mau belajar untuk berbagi,
bukan sekadar memiliki.
Karena selama ada satu hati yang bersedia mencinta,
selama ada satu jiwa yang mau memberi,
cahaya itu akan tetap ada.
Cahaya cinta akan menuntun,
bagi mereka yang berani mencarinya.
---
Antara Cinta & Kebencian (Bagian Akhir)
Aku berjalan,
melewati luka-luka yang tak terlihat,
melewati tangisan yang tak terdengar,
melewati jiwa-jiwa yang terbelenggu.
Di setiap langkah, aku bertanya:
Apakah mereka masih dapat mengenal cinta?
Apakah mereka masih bisa melihat cahaya?
Aku harus menemukan mereka—
mereka yang bersedia membuka hati,
mereka yang ingin memahami makna cinta sejati.
Maka aku mengumpulkan mereka:
serigala yang haus akan kepuasan,
pecinta perang yang lapar akan kemenangan,
penjual hukum yang membarter kebenaran.
Aku menatap mereka satu per satu.
"Wahai saudaraku," kataku,
"kebencian apa yang kau simpan di hatimu,
hingga kau menukar nyawa saudaramu
dengan kepuasan yang fana?"
Tak ada jawaban.
Hanya angin yang berbisik lirih di antara kami.
"Wahai jiwa-jiwa yang tersesat,
mengapa kau biarkan kebencian menuntun langkahmu?
Apakah kau tak lelah hidup dalam bayang-bayang?
Apakah kau tak ingin merasakan cahaya?"
Serigala menatapku.
"Apakah cahayamu bisa membuatku kenyang?"
Aku mengangguk.
"Ya."
Pecinta perang bersuara.
"Apakah cahayamu bisa membawa kemakmuran bagi rakyatku?"
Aku mengangguk lagi.
"Ya."
Penjual hukum mengernyit.
"Apakah cahayamu bisa menghadirkan keadilan di pengadilan?"
Aku tersenyum lembut.
"Ya."
Mereka saling berpandangan, ragu.
"Cahaya apa yang kau bawa?"
Aku menarik napas panjang.
"Cahaya cinta."
"Dan bagaimana cinta bisa mengubah segalanya?"
Aku mendekat.
"Ketika kau belajar mencintai orang lain,
bukan hanya dirimu sendiri...
Ketika kau bisa merasakan penderitaan mereka,
seperti kau merasakan lukamu sendiri...
Ketika kau bisa berbagi,
bukan hanya mengambil..."
Aku menatap mereka satu per satu.
"Saat itulah cahaya cinta akan merasuk ke dalam hatimu."
Mereka terdiam.
Mereka bergeming.
Tapi di mata mereka, ada sesuatu yang berbeda.
Aku tersenyum.
"Buanglah kebencian yang berakar dalam jiwamu,
maka cinta akan tumbuh seperti mawar.
Singkirkan keserakahan yang membelenggu hatimu,
maka cahaya akan menuntun langkahmu."
Serigala menunduk.
Pecinta perang meletakkan pedangnya.
Penjual hukum menghela napas panjang.
Dan untuk pertama kalinya,
mereka menatapku bukan dengan kebencian,
bukan dengan ketamakan,
melainkan dengan harapan.
"Baiklah, wahai sang pencinta," kata mereka.
"Terima kasih telah mengajarkan kami untuk mencinta."
Aku tersenyum.
"Bukan aku yang menolongmu,
tapi kau yang menolong dirimu sendiri.
Aku hanya membawa kabar gembira."
Mereka mengangguk.
Aku tahu, langkah mereka masih panjang.
Tapi setidaknya, mereka telah melihat cahaya.
Dan kini, aku harus pergi.
"Tetaplah di sini, wahai sang pencinta," kata mereka.
"Kami membutuhkanmu."
Aku menggeleng lembut.
"Cinta bukan tentang bergantung pada satu jiwa,
tetapi tentang membagikan cahaya kepada banyak hati."
Mereka menatapku dengan berat.
"Ke mana kau akan pergi?"
Aku tersenyum.
"Aku akan kembali pada kekasihku.
Ia telah menungguku dalam kesabaran yang tak berbatas."
Aku melangkah,
meninggalkan dunia yang mulai memahami cinta,
menuju dunia yang telah lama menantiku.
Aku berjalan melintasi padang bunga,
melalui angin yang menghembuskan wewangian cinta.
Burung-burung bernyanyi merdu,
dan sungai berbisik lembut di telingaku.
Dan di sana, di bawah pohon willow yang teduh,
dia berdiri, menatapku dengan senyum yang telah lama kurindukan.
Gaunnya seputih cahaya pagi,
rambutnya terurai seperti aliran sungai yang jernih,
dan matanya, oh, matanya...
adalah tempat di mana seluruh duniaku bermuara.
Aku melangkah mendekat,
dan ia berlari kecil,
menyambutku dalam pelukan yang penuh kehangatan.
"Wahai belahan jiwaku," bisikku,
"aku kembali untukmu."
Ia tersenyum, air mata berkilauan di pipinya.
"Terima kasih telah mengajarkanku arti cinta sejati.
Kini aku tahu,
kebahagiaan bukan hanya milikku,
tetapi milik semua jiwa yang ingin berbagi."
Aku mengangguk.
"Wahai cinta, rengkuhlah aku dalam kehangatan hatimu.
Bawalah aku dengan seribu sayapmu,
menuju kebahagiaan cinta yang sejati."
Dan di bawah langit yang membiru,
di antara bunga-bunga yang menari dalam angin,
kami berjalan bersama,
melebur dalam cahaya cinta yang abadi.
---
TAMAT